BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Penduduk Indonesia
kualitasnya saat ini masih sangat memprihatinkan. Berdasarkan penilaian UNDP,
pada tahun 2003 kualitas sumber daya manusia yang diukur melalui Indeks
Pembangunan Manusia (human development index) Indonesia mempunyai ranking yang
sangat memprihatinkan, yaitu 112 dari 175 negara di dunia. Dalam kaitan ini
program kependudukan dan keluarga berencana merupakan salah satu program
investasi pembangunan jangka panjang yang mesti dilakukan sebagai landasan
membangun SDM yang kokoh di masa mendatang.
Masalah kependudukan di
era pasar bebas kelahiran bayi turun, tapi makin banyak selimut diperlukan
untuk usia lanjut. Sudah sering orang berbicara soal globalisasi dan pasar
bebas. Dengan beragam teknologi yang makin canggih, batas negara juga makin tak
berarti. Apa yang terjadi di satu belahan dunia, dapat dengan segera diketahui,
bahkan reaksinya dapat dirasakan di belahan dunia lainnya. Revolusi teknologi
informasi memungkinkan semua itu.
Aspek ekonomi pun
seolah menjadi tema sentral percakapan globalisasi itu. Sebab pasar bebas
semakin identik dengan globalisasi. Satu negara dengan negara lainnya makin
saling tergantung dan membutuhkan satu sama lain di bidang ekonomi dan
perdagangan. Berbicara soal pasar bebas, Indonesia yang berpenduduk 195 juta jiwa,
bisa dibilang sebagai suatu pasar yang sangat potensial. Menangkap gejala itu,
Ikatan Peminat dan Ahli Demografi Indonesia (IPADI) bekerja sama dengan Kantor
Menteri Negara Kependudukan menyelenggarakan suatu seminar tentang Penduduk,
Peluang Usaha, dan Globalisasi di Jakarta, pekan lalu.
Dalam seminar itu,
terungkap kekhawatiran-kekhawatiran di kalangan demograf, jangan sampai
penduduk Indonesia yang berjumlah 195 juta jiwa, menjadi pasar empuk bagi
negara lain di era perdagangan bebas dan globalisasi. “Padahal kita hendak
menjadi pelaku, pemrakarsa dan pemain ekonomi di pentas itu,” kata Menteri
Negara Kependudukan/Kepala BKKBN Haryono Suyono dalam seminar tersebut. Karena
itu, Haryono menekankan, bahasa demografi kini sudah harus berkembang lebih jauh
lagi seiring kecenderungan perkembangan global. Bahasa demografi tidak lagi
sekadar berbicara kuantitas, ciri dan struktur kependudukan. Tetapi ada
berbagai hal yang sudah harus diakomodasikan dalam bahasa demografi itu. Apa
dan bagaimana di balik angka-angka kependudukan, harus lebih jelas diuraikan.
Dengan begitu, bahasa demografi dapat berjalan seiring dengan bahasa ekonomi
dan bahasa-bahasa lainnya.
Ini sangat penting,
karena globalisasi, pasar bebas, akan sangat erat kaitannya dengan potensi
penduduk yang ada, dan penduduk yang bagaimana yang harus disiapkan oleh suatu
negara. Tanpa perencanaan dan strategi pembangunan sumber daya manusia yang
matang, maka negara yang berpenduduk sebesar Indonesia akan menjadi penonton di
pentas globalisasi itu.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana hubungan antara
kependudukan, globalisasi dan pasar bebas?
2. Bagaimana pandangan lembaga survai
internasional tentang perekonomian Indonesia 2050?
3. Bagaimana cara mengatasi masalah
kependudukan?
1.3
Tujuan Penulisan
1. Mengetahui hubungan antara
kependudukan, globalisasi dan pasar bebas.
2. Mengetahui pandangan lembaga suvai
internasional tentang perekonomian Indonesia 2050.
3. Mengetahui cara mengatasi masalah
kependudukan.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Hubungan antara Kependudukan, Globalisasi
dan Pasar Bebas
Demografi bukan lagi
sekadar penyajian analisis tentang ciri kependudukan dan pertumbuhannya, tetapi
apa dan bagaimana di balik angka-angka kependudukan itu yang harus lebih
dikedepankan, menjadi sangat relevan.
Di manakah posisi
kependudukan dalam era globalisasi dan perdagangan bebas yang melahirkan
banyaknya peluang usaha itu? Secara garis besar, Haryono membagi tiga variabel
keterkaitan hubungan antara kependudukan, globalisasi dan pasar bebas.
Pertama, kondisi
penduduk dan kemampuan penduduk sangat erat terkait dengan tumbuh dan
berkembangnya usaha ekonomi. Penduduk di satu sisi bisa menjadi pelaku atau
sumber daya bagi faktor produksi. Di sisi lain, penduduk bisa menjadi sasaran
atau konsumen bagi produk yang dihasilkan. Kondisi, data dan informasi
kependudukan, akan sangat berguna dalam memperhitungkan seberapa banyak tenaga
kerja akan diserap, kualifikasi tertentu yang dibutuhkan, dan jenis teknologi
yang akan dipergunakan untuk memproduksi barang atau jasa.
Di pihak lain,
pengetahuan tentang struktur penduduk dan kondisi sosial ekonomi pada wilayah
tertentu, akan sangat bermanfaat dalam memperhitungkan seberapa banyak penduduk
yang akan dapat memanfaatkan peluang dan hasil pembangunan, atau seberapa luas
pangsa pasar bagi suatu produk usaha tertentu.
Kedua, potensi penduduk
erat kaitannya dengan ketangguhan bangsa dalam mengarungi era globalisasi dan
perdagangan bebas. Dalam era ini, besarnya jumlah penduduk dan kekuatan ekonomi
masyarakat menjadi potensi, sekaligus sasaran pembangunan sosial ekonomi, baik
untuk skala nasional maupun internasional. Produksi nasional dan regional yang
mempunyai kualitas dan daya saing yang tinggi, sangat perlu dikembangkan agar
dapat menjadi komoditas yang laris dikonsumsi di dalam maupun di luar negeri.
Hal itu sangat penting agar masyarakat bukan hanya menjadi konsumen yang
kebanjiran produksi luar negeri, tetapi juga bisa menjadi produsen yang tangguh
di dalam tata ekonomi dunia. Untuk itu, pengembangan sumber daya manusia perlu
terus dilakukan agar kualitas penduduk dalam perannya sebagai manusia ekonomi
dapat secara luas meningkat, sesuai dengan permintaan dan kebutuhan zaman yang
terus menerus berkembang.
Ketiga, globalisasi dan
perdagangan bebas mengandung implikasi peluang usaha yang sangat luas. Dalam
era tersebut, hubungan perdagangan antarnegara akan makin meluas dan mencakup
sasaran pasar produksi dengan segmentasi yang sangat bervariasi. Negara-negara
maju menanamkan investasi dan melakukan relokasi industri ke negara berkembang.
Demikian pula mereka membuka cabang usaha jasa yang semakin meluas. Harus
dipersiapkan agar kita tidak hanya akan menjadi agen jasa dan produksi dari
negara asing, tetapi juga mampu menjadi pemrakarsa dan pemain dengan mutu
produksi yang andal.
Tetapi ketiga aspek
itu, hanya bisa diterjemahkan dengan bahasa demografi yang kian berdimensi
luas, baik dari segi politis, ekonomis, maupun sosial budaya. Globalisasi dan
pasar bebas, memang membentangkan yang andal, yang hidup dalam lingkungan
keluarga sejahtera.
Dalam kaitan itulah,
bahasa demografi harus semakin berkembang, menerjemahkan apa dan bagaimana di
balik angka-angka kependudukan. Sebab dari angka-angka itu bisa terbaca peluang
apa yang terbuka bagi dunia usaha. Di sinilah peran para demograf ditantang
untuk lebih luas mengungkap dengan jelas dimensi dan nuansa kependudukan
tersebut.
Sebagai contoh, peluang
usaha apa yang bisa terbuka dengan memproyeksi perubahan struktur penduduk
Indonesia pada periode tahun 1995 sampai 2020, jika dirinci dari kelompok umur
lima tahunan. Kalau sekadar menyajikan proyeksi jumlah penduduk dari tahun ke
tahun, tentu “bahasanya” memang agak kering. Tetapi kalau diterjemahkan lebih
jauh pada setiap kelompok umur, bahasa ekonomi tentu akan menerjemahkan ke
dalam perkiraan-perkiraan kebutuhan penduduk. Satu contoh sederhana ditunjukkan
Haryono Suyono. Sebagai dampak dari pengendalian pertumbuhan penduduk,
diperkirakan jumlah kelahiran bayi secara absolut setiap tahun akan terus
menurun, yaitu dari sekitar 4,5 juta jiwa pada tahun 1995, menjadi 3,4 juta
pada tahun 2020.
Secara sepintas, hal
itu memberikan isyarat bahwa berbagai kebutuhan bayi dan anak balita, ibu
hamil, dan ibu setelah melahirkan, akan cenderung turun. Namun kalau dicermati,
bahwa setiap keluarga hanya mempunyai seorang atau dua orang anak, maka
kebutuhan itu bisa saja naik, asalkan disertai dengan presentasi kualitas yang
memadai dan menempatkannya pada kebutuhan yang berbeda sesuai kemajuan
tingkatan status keluarga. Gambaran itu tentu akan merangsang penyaji atau
penjual pakaian, yang tidak mengejar jumlah dalam pemasaran biasa, tetapi lebih
mencari peluang untuk pemasaran dalam bentuk penyajian lain.
Di samping itu, jumlah
penduduk usia 0-14 tahun juga diperkirakan akan terus menurun. Dari sekitar
68,7 juta jiwa pada tahun 1995 menjadi 59,1 juta pada tahun 2020. Karenanya,
usaha-usaha dalam pembuatan sarana dan prasarana sekolah, permainan dan
fasilitas olahraga, akan menjadi cukup jenuh pada sekitar pertengahan sampai
akhir PJP II. Kecuali jika pengembangan terus diarahkan pada peningkatan
variasi dan mutu yang berorientasi ke depan. Sedangkan penduduk usia 15 tahun
ke atas, diperkirakan akan terus meningkat dari 131,5 juta jiwa pada tahun 1995
menjadi 198,1 juta pada tahun 2020. Implikasi dari itu, jumlah angkatan kerja
baru masih akan naik. Ini juga memberikan arti, kesempatan kerja yang harus
lebih dibuka perlu lebih dikembangkan.
Kecenderungan penduduk
usia lanjut, juga akan terus meningkat dalam kurun waktu liberalisasi
perdagangan ini. Yaitu, dari 8,93 juta jiwa pada tahun 1995 menjadi 18,24 juta
pada tahun 2020, dan tentunya juga akan membuka peluang usaha yang cukup luas.
Misalkan dengan asumsi bahwa kebutuhan akan berbagai jenis pekerjaan khusus,
pelayanan kesehatan dan perawatan khusus, surat kabar, majalah, pelayanan
ibadah, kebutuhan kacamata dan lainnya, akan semakin meningkat.
Bahkan seorang peserta
seminar berkelakar, salah satu peluang usaha yang bisa ditangkap di era itu
adalah menjadi pengusaha yang menyediakan banyak selimut buat kakek-nenek,
sebagai akibat makin banyaknya jumlah penduduk berusia lanjut. Tetapi persoalan
tidak sesederhana itu, karena membuat selimut yang berdaya saing global, bukan
pekerjaan ringan yang asal jadi.
Dengan makin
bertambahnya rata-rata usia harapan hidup orang Indonesia, memberikan harapan
baru bahwa Indonesia bisa memberi kesempatan kepada penduduk untuk
menyumbangkan tenaganya dalam waktu yang lebih lama. Karenanya, investasi
pendidikan dan latihan menjadi relatif lebih murah, karena sumber daya manusia
dapat dipergunakan dalam waktu yang relatif lebih lama.
Dari segi nonfisik,
kualitas penduduk Indonesia juga mengalami kemajuan yang berarti, ditandai
dengan makin berkurangnya jumlah penduduk miskin. Hal ini akan memperkuat daya
beli masyarakat, mempertinggi minat dan aspirasi, serta gaya hidup untuk
menggunakan sarana dan prasarana produksi serta jasa yang lebih berkualitas.
Peluang usaha yang
bakal terbuka di era tahun 2020, hanya bisa ditangkap oleh sumber daya manusia
yang berkualitas. Karena itu, pengembangan sumber daya manusia Indonesia harus
terus dikembangkan. Potensi pasar dalam negeri cukup luas untuk digarap. Tetapi
persoalannya, tidak banyak waktu yang tersedia bagi Indonesia untuk mengejar
ketertinggalannya dari negara-negara lain di sekitar. Tahun 2020 misalnya,
pasar bebas di kawasan Asia Pasifik sudah terbuka. Perdagangan bebas di kawasan
ASEAN saja dalam kerangka Perjanjian Perdagangan Bebas ASEAN (AFTA), sudah
harus berlangsung tahun 2003.
Karenanya, Indonesia
tidak bisa lagi mengandalkan pada keunggulan komparatif tenaga kerja dengan
tingkat upah yang relatif murah dibandingkan negara berkembang Asia lainnya.
Namun ironisnya lagi, tatkala negara lain sudah makin serius dengan teknologi
canggih, Indonesia masih dihadapkan pada kenyataan masih adanya anak remaja
yang putus sekolah karena ketiadaan biaya.
2.2
Pandangan Lembaga Survai
Internasional Tentang Perekonomian Indonesia 2050
Pada akhir 2005,
Goldman Sach kembali melahirkan makalah dengan memperkenalkan istilah baru,
yaitu negara-negara yang tergabung dalam N-11 (Next Eleven), yaitu kumpulan
negara dengan jumlah penduduk besar di dunia dan berpotensi besar di belakang
BRICs (Brasil, Rusia India dan Cina). Kelompok N-11 ini ialah Banglades, Mesir,
Indonesia, Iran, Korea, Meksiko, Nigeria, Pakistan, Filipina, Turki, dan
Vietnam. Kelompok itu memang mendapat perhatian dari berbagai khalayak. Bahkan
Pricewaterhousecoopers, sebuah kantor akuntan terbesar di dunia, melalui Chief
Economist-nya di London, membuat prediksi berjudul The World in 2050 pada Maret
2006. Makalah itu secara khusus menyoroti kelompok khusus yang disebut E-7, The
Emerging Seven, yaitu negara berkembang kelompok tujuh, terdiri dari China,
India, Brasil, Rusia, yang termasuk BRICs, ditambah Indonesia, Meksiko, dan
Turki yang kebetulan termasuk kelompok N-11. Kelompok E-7 ini diprediksikan
akan melampaui kekuatan ekonomi negara-negara adidaya yang tergabung dalam G-7
pada tahun 2050. Namun, yang menarik adalah adanya hampir kesamaan kedua
makalah itu mengenai Indonesia.
Dalam tulisan terbaru
“N-11: More Than an Acronym“, (Global Economics Paper No 153, Maret 28, 2007),
Goldman Sach membuat suatu prediksi perekonomian global pada tahun 2050. Dalam
makalah itu Indonesia diprediksi akan menjadi kekuatan nomor tujuh di dunia
setelah China, AS, India, Brasil, Meksiko, dan Rusia. Prediksi mirip makalah
The World in 2050 yang disiapkan Pricewaterhousecoopers, yang menempatkan
Indonesia pada kekuatan nomor enam setelah AS, China, India, Jepang, dan
Brasil. Dari kedua tulisan itu menarik disimak bahwa urutan enam besar
perekonomian dunia bisa berbeda, tetapi urutan Indonesia keenam atau ketujuh
relatif tidak banyak berbeda.
Pada
tahun 2025, Goldman Sach memprediksi perekonomian Indonesia akan sebesar di
antara Kanada dan Turki. Dalam hal ini, PDB Indonesia akan menempati urutan
ke-14, Kanada berada di atasnya urutan ke-13. Dua puluh lima tahun kemudian,
Indonesia diprediksi menjadi kekuatan ketujuh perekonomian dunia, melampaui
Jepang, Inggris, Jerman, Nigeria, Perancis, Korea, dan Turki. Apakah prediksi
itu memiliki alasan kuat?
Goldman Sach
menggunakan tahun 2006 sebagai tahun dasar. Seberapa akurat data yang digunakan
dibandingkan dengan data resmi yang dipublikasikan? Sebagai catatan, Goldman
Sach juga menggunakan data ofisial, meski untuk tahun 2006 masih menggunakan
angka prediksi. Ternyata data tahun 2006 yang kita miliki menunjukkan
perkembangan yang lebih cepat dibandingkan dengan data Goldman Sach. Total PDB,
misalnya, mencapai angka sekitar 366 miliar dollar AS dibandingkan dengan
prediksi Goldman Sach sebesar 350 miliar dollar AS. Dengan angka lebih tinggi
itu, pendapatan per kapita penduduk Indonesia mencapai 1.663 dollar AS tahun
2006, sedangkan menurut data Goldman Sach sebesar 1.508 dollar AS. Selain angka
PDB, perbedaan angka pendapatan per kapita juga disebabkan jumlah penduduk yang
menurut Goldman Sach sebesar 232 juta penduduk, lebih besar daripada angka
sebenarnya.
Dengan perbedaan angka
dasar itu, bisa dimengerti jika prediksi PDB Indonesia pada tahun 2010 akan
mencapai 419 miliar dollar AS, sementara prediksi yang saya buat cukup
konservatif pun menghasilkan angka sekitar 550 miliar dollar AS. Dengan
prediksi semacam itu, bisa dimengerti mengapa prediksi Goldman Sach tentang
Indonesia menjadi sedikit lebih rendah dibandingkan dengan prediksi yang
dilakukan Pricewaterhousecooper.
Bagi yang skeptis, prediksi
ini bisa dianggap membuang-buang waktu. Meskipun demikian, mengingat nama besar
kedua institusi itu, rasanya kita perlu melihat secara lebih jernih apa yang
mereka lakukan dengan apa yang sudah terjadi beberapa tahun terakhir ini.
Tampaknya, apa yang
dimunculkan kedua institusi itu kian menemukan bentuknya dalam “The World in
2007″ (Economist edisi Desember 2006). Dalam edisi itu disebutkan ada 66 negara
yang memiliki perekonomian terbesar di dunia, dengan data cukup rinci. Dalam
daftar itu, Indonesia ada pada urutan ke-21 dengan menggunakan nilai tukar
pasar (market exchange rate, bukan dengan PPP rate). Dibandingkan dengan data
2004, Indonesia masih di urutan ke-25-26 bersama Arab Saudi. Dalam artikel itu
disebutkan, PDB Arab Saudi tetap di urutan ke-26 meski terjadi kenaikan amat
tinggi harga minyak bumi. Indonesia dalam tiga tahun telah dan akan melampaui
Austria, Norwegia, Turki, dan Polandia. Tahun ini diprediksi PDB Indonesia akan
mencapai sekitar 410 miliar dollar AS. Ini bisa membawa Indonesia pada urutan
ke-20, melampaui Taiwan. Pada tahun 2010, seperti dikemukakan sebelumnya,
Indonesia akan melampaui Swiss, Swedia, dan Belgia, dengan total PDB sekitar
550 miliar dollar AS. Jika ini terjadi, posisi ke-14 sebagaimana prediksi
Goldman Sach tahun 2025, bukan tidak mungkin akan terlampaui bahkan sebelum
akhir tahun 2020.Semoga mimpi ini akan membawa kemakmuran lebih besar bagi
penduduk Indonesia tanpa terkecuali.
2.3
Mengatasi Masalah Kependudukan
Praktis, masalah
kependudukan dan problematiknya, memerlukan penanganan yang cermat dan lebih
terkoordinasi. Buruknya manajemen penyelenggaraan transmigrasi sungguh
memprihatinkan karena terjadi saat bangsa Indonesia sedang menghadapi persoalan
kependudukan sebagai salah satu masalah nasional. Sebagaimana diketahui, ciri
persoalan kependudukan Indonesia adalah kosentrasi lokasi penduduk di
daerah-daerah padat, penyebarannya tidak proporsional, rata-rata pertumbuhannya
relatif tinggi, dan kurangnya pemahaman bahwa persoalan kependudukan adalah
masalah nasional yang multidimensi dan berdampak luas.
Penduduk Indonesia
tahun 2000 sebanyak 205,8 juta. Tahun 2025, angka itu diproyeksikan menjadi
273,7 juta. Jadi, selama 25 tahun, terjadi penambahan jumlah penduduk rata-rata
2,72% tiap tahun. Namun, secara substansial, persoalan kependudukan bukan hanya
terkait aspek kuantitatif, tetapi juga aspek kualitatif.
Transmigrasi adalah salah satu upaya
untuk mengatasi masalah kependudukan tersebut. Upaya lain yang selama ini
pernah gencar dilaksanakan adalah menggalakkan keluarga berencana dan
mengintensifkan pendidikan kependudukan.
Harus kita akui arah
kebijakan dan program pemerintah dalam mengatasi masalah nasional yang satu
ini, dalam kurun waktu enam tahun terakhir terkesan tidak jelas dan tidak
tegas. Namun, pada acara peluncuran buku Proyeksi Penduduk Indonesia 2000 –
2005, Selasa pekan lalu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sempat
mengisyaratkan bahwa untuk menghadapi tantangan di bidang kependudukan di
Indonesia diperlukan satu rencana besar dalam jangka menengah maupun panjang,
termasuk menggalakkan kembali program keluarga berencana. Belum dijelaskan
lebih lanjut, bagaimana penjabaran rencana tersebut, termasuk bagaimana
strategi yang akan diterapkannya.
Di satu pihak tidak
bisa dimungkiri bahwa persoalan kependudukan harus diatasi bersama seluruh
komponen bangsa, mulai dari pemerintah pusat, pemerintah daerah, sampai
lembaga-lembaga lainnya. Di pihak lain, dengan memperhatikan kondisi bangsa
yang penuh keterbatasan sekarang ini, kiranya perlu dipertimbangkan penetapan
skala prioritas penanganannya secara tepat. Harus dicari sumber permasalahan
pokoknya, dan prioritas penanganannya harus dimulai dengan menyentuh persoalan
pokok tersebut.
Berdasarkan data, jumlah
terbesar penduduk Indonesia berdomisili di Pulau Jawa. Angka tingkat kepadatan
penduduk tertinggi juga ada di pulau ini. Begitu pula angka migrasi pencari
kerja, baik di lingkungan dalam negeri maupun migrasi pencari kerja ke luar
negeri, diasumsikan tertinggi berasal dari Pulau Jawa. Boleh dikatakan,
persoalan pokok masalah nasional kependudukan Indonesia ada di pulau ini. Data
dan asumsi tersebut kiranya pantas dijadikan bahan kajian kemungkinan
menetapkan penanggulangan masalah kependudukan di Pulau Jawa sebagai langkah
prioritas. Logikanya, jika kita berhasil mengatasi persoalan kependudukan di
pulau ini sebagai langkah awal, akan berdampak luas dan merupakan langkah yang
efektif mengatasi persoalan kependudukan di Tanah Air.
Tiga jenis program
perlu digalakkan secara serempak di pulau ini, dengan target pemecahan masalah
secara kuantitatif maupun secara kualitatif. Program transmigrasi dengan
sasaran daerah-daerah yang tingkat kepadatan penduduknya rendah, keluarga
berencana dengan sasaran pasangan usia subur, dan pendidikan kependudukan
dengan sasaran generasi muda.
Yang perlu dikondisikan terlebih dulu
adalah tertanamnya pengertian bahwa masalah kependudukan adalah masalah
nasional. Hal ini bisa ditanamkan lewat jalur pendidikan kependudukan, jalur formal
maupun jalur nonformal. Dengan pola pikir dan perilaku yang satu bahasa, maka
program transmigrasi, misalnya, bukan hanya diterima sebagai upaya untuk
mensejahterakan rakyat yang ditransmigrasikan, tetapi juga disadari sebagai
upaya meningkatkan kesejahteraan rakyat di daerah tujuannya, dan lebih dari itu
dalam rangka mewujudkan kesejahteraan kehidupan rakyat Indonesia. Program
keluarga berencana bukan semata-mata ditempatkan sebagai upaya untuk
mengendalikan kelahiran bayi yang terkait kondisi dan kepentingan pribadi atau
keluarga, tetapi juga demi kepentingan yang lebih luas dan berdimensi masa
depan, yakni kepentingan nasional.Tanpa menempatkan kepentingan nasional di
atas kepentingan lain yang lebih sempit, mustahil masalah kependudukan bisa diatasi.
BAB III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Berdasarkan uraian pembahasan di awal,
maka dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa:
1. Tiga
variabel keterkaitan hubungan antara kependudukan, globalisasi dan pasar bebas
yaitu kondisi penduduk dan kemampuan penduduk sangat erat terkait dengan tumbuh
dan berkembangnya usaha ekonomi, potensi penduduk erat kaitannya dengan
ketangguhan bangsa dalam mengarungi era globalisasi dan perdagangan bebas
globalisasi dan perdagangan bebas mengandung implikasi peluang usaha yang
sangat luas.
2. Pada
tahun 2025, Goldman Sach memprediksi perekonomian Indonesia akan sebesar di
antara Kanada dan Turki.
3. Tiga
jenis program perlu digalakkan secara serempak dengan target pemecahan masalah
secara kuantitatif maupun secara kualitatif, yaitu program transmigrasi dengan
sasaran daerah-daerah yang tingkat kepadatan penduduknya rendah, keluarga
berencana dengan sasaran pasangan usia subur, dan pendidikan kependudukan
dengan sasaran generasi muda.
3.2
Saran
Semoga makalah ini
dapat bermanfaat dan menambah hasanah pengetahuan kita, utamanya yang
berhubungan dengan pengetahuan lingkungan.
DAFTAR PUSTAKA
http://wahyurihant.wordpress.com/2012/05/01/makalah-pengetahuan-lingkungan-penduduk/
0 komentar:
Posting Komentar