Selasa, 02 April 2013

Pengetahuan Lingkungan (Kependudukan)



BAB I
PENDAHULUAN


1.1       Latar Belakang
Penduduk Indonesia kualitasnya saat ini masih sangat memprihatinkan. Berdasarkan penilaian UNDP, pada tahun 2003 kualitas sumber daya manusia yang diukur melalui Indeks Pembangunan Manusia (human development index) Indonesia mempunyai ranking yang sangat memprihatinkan, yaitu 112 dari 175 negara di dunia. Dalam kaitan ini program kependudukan dan keluarga berencana merupakan salah satu program investasi pembangunan jangka panjang yang mesti dilakukan sebagai landasan membangun SDM yang kokoh di masa mendatang.
Masalah kependudukan di era pasar bebas kelahiran bayi turun, tapi makin banyak selimut diperlukan untuk usia lanjut. Sudah sering orang berbicara soal globalisasi dan pasar bebas. Dengan beragam teknologi yang makin canggih, batas negara juga makin tak berarti. Apa yang terjadi di satu belahan dunia, dapat dengan segera diketahui, bahkan reaksinya dapat dirasakan di belahan dunia lainnya. Revolusi teknologi informasi memungkinkan semua itu.
Aspek ekonomi pun seolah menjadi tema sentral percakapan globalisasi itu. Sebab pasar bebas semakin identik dengan globalisasi. Satu negara dengan negara lainnya makin saling tergantung dan membutuhkan satu sama lain di bidang ekonomi dan perdagangan. Berbicara soal pasar bebas, Indonesia yang berpenduduk 195 juta jiwa, bisa dibilang sebagai suatu pasar yang sangat potensial. Menangkap gejala itu, Ikatan Peminat dan Ahli Demografi Indonesia (IPADI) bekerja sama dengan Kantor Menteri Negara Kependudukan menyelenggarakan suatu seminar tentang Penduduk, Peluang Usaha, dan Globalisasi di Jakarta, pekan lalu.
Dalam seminar itu, terungkap kekhawatiran-kekhawatiran di kalangan demograf, jangan sampai penduduk Indonesia yang berjumlah 195 juta jiwa, menjadi pasar empuk bagi negara lain di era perdagangan bebas dan globalisasi. “Padahal kita hendak menjadi pelaku, pemrakarsa dan pemain ekonomi di pentas itu,” kata Menteri Negara Kependudukan/Kepala BKKBN Haryono Suyono dalam seminar tersebut. Karena itu, Haryono menekankan, bahasa demografi kini sudah harus berkembang lebih jauh lagi seiring kecenderungan perkembangan global. Bahasa demografi tidak lagi sekadar berbicara kuantitas, ciri dan struktur kependudukan. Tetapi ada berbagai hal yang sudah harus diakomodasikan dalam bahasa demografi itu. Apa dan bagaimana di balik angka-angka kependudukan, harus lebih jelas diuraikan. Dengan begitu, bahasa demografi dapat berjalan seiring dengan bahasa ekonomi dan bahasa-bahasa lainnya.
Ini sangat penting, karena globalisasi, pasar bebas, akan sangat erat kaitannya dengan potensi penduduk yang ada, dan penduduk yang bagaimana yang harus disiapkan oleh suatu negara. Tanpa perencanaan dan strategi pembangunan sumber daya manusia yang matang, maka negara yang berpenduduk sebesar Indonesia akan menjadi penonton di pentas globalisasi itu.

1.2       Rumusan Masalah
1. Bagaimana hubungan antara kependudukan, globalisasi dan pasar bebas?
2. Bagaimana pandangan lembaga survai internasional tentang perekonomian Indonesia 2050?
3. Bagaimana cara mengatasi masalah kependudukan?

1.3       Tujuan Penulisan
1. Mengetahui hubungan antara kependudukan, globalisasi dan pasar bebas.
2. Mengetahui pandangan lembaga suvai internasional tentang perekonomian Indonesia 2050.
3. Mengetahui cara mengatasi masalah kependudukan.


BAB II
PEMBAHASAN


2.1       Hubungan antara Kependudukan, Globalisasi dan Pasar Bebas
Demografi bukan lagi sekadar penyajian analisis tentang ciri kependudukan dan pertumbuhannya, tetapi apa dan bagaimana di balik angka-angka kependudukan itu yang harus lebih dikedepankan, menjadi sangat relevan.
Di manakah posisi kependudukan dalam era globalisasi dan perdagangan bebas yang melahirkan banyaknya peluang usaha itu? Secara garis besar, Haryono membagi tiga variabel keterkaitan hubungan antara kependudukan, globalisasi dan pasar bebas.
Pertama, kondisi penduduk dan kemampuan penduduk sangat erat terkait dengan tumbuh dan berkembangnya usaha ekonomi. Penduduk di satu sisi bisa menjadi pelaku atau sumber daya bagi faktor produksi. Di sisi lain, penduduk bisa menjadi sasaran atau konsumen bagi produk yang dihasilkan. Kondisi, data dan informasi kependudukan, akan sangat berguna dalam memperhitungkan seberapa banyak tenaga kerja akan diserap, kualifikasi tertentu yang dibutuhkan, dan jenis teknologi yang akan dipergunakan untuk memproduksi barang atau jasa.
Di pihak lain, pengetahuan tentang struktur penduduk dan kondisi sosial ekonomi pada wilayah tertentu, akan sangat bermanfaat dalam memperhitungkan seberapa banyak penduduk yang akan dapat memanfaatkan peluang dan hasil pembangunan, atau seberapa luas pangsa pasar bagi suatu produk usaha tertentu.
Kedua, potensi penduduk erat kaitannya dengan ketangguhan bangsa dalam mengarungi era globalisasi dan perdagangan bebas. Dalam era ini, besarnya jumlah penduduk dan kekuatan ekonomi masyarakat menjadi potensi, sekaligus sasaran pembangunan sosial ekonomi, baik untuk skala nasional maupun internasional. Produksi nasional dan regional yang mempunyai kualitas dan daya saing yang tinggi, sangat perlu dikembangkan agar dapat menjadi komoditas yang laris dikonsumsi di dalam maupun di luar negeri. Hal itu sangat penting agar masyarakat bukan hanya menjadi konsumen yang kebanjiran produksi luar negeri, tetapi juga bisa menjadi produsen yang tangguh di dalam tata ekonomi dunia. Untuk itu, pengembangan sumber daya manusia perlu terus dilakukan agar kualitas penduduk dalam perannya sebagai manusia ekonomi dapat secara luas meningkat, sesuai dengan permintaan dan kebutuhan zaman yang terus menerus berkembang.
Ketiga, globalisasi dan perdagangan bebas mengandung implikasi peluang usaha yang sangat luas. Dalam era tersebut, hubungan perdagangan antarnegara akan makin meluas dan mencakup sasaran pasar produksi dengan segmentasi yang sangat bervariasi. Negara-negara maju menanamkan investasi dan melakukan relokasi industri ke negara berkembang. Demikian pula mereka membuka cabang usaha jasa yang semakin meluas. Harus dipersiapkan agar kita tidak hanya akan menjadi agen jasa dan produksi dari negara asing, tetapi juga mampu menjadi pemrakarsa dan pemain dengan mutu produksi yang andal.
Tetapi ketiga aspek itu, hanya bisa diterjemahkan dengan bahasa demografi yang kian berdimensi luas, baik dari segi politis, ekonomis, maupun sosial budaya. Globalisasi dan pasar bebas, memang membentangkan yang andal, yang hidup dalam lingkungan keluarga sejahtera.
Dalam kaitan itulah, bahasa demografi harus semakin berkembang, menerjemahkan apa dan bagaimana di balik angka-angka kependudukan. Sebab dari angka-angka itu bisa terbaca peluang apa yang terbuka bagi dunia usaha. Di sinilah peran para demograf ditantang untuk lebih luas mengungkap dengan jelas dimensi dan nuansa kependudukan tersebut.
Sebagai contoh, peluang usaha apa yang bisa terbuka dengan memproyeksi perubahan struktur penduduk Indonesia pada periode tahun 1995 sampai 2020, jika dirinci dari kelompok umur lima tahunan. Kalau sekadar menyajikan proyeksi jumlah penduduk dari tahun ke tahun, tentu “bahasanya” memang agak kering. Tetapi kalau diterjemahkan lebih jauh pada setiap kelompok umur, bahasa ekonomi tentu akan menerjemahkan ke dalam perkiraan-perkiraan kebutuhan penduduk. Satu contoh sederhana ditunjukkan Haryono Suyono. Sebagai dampak dari pengendalian pertumbuhan penduduk, diperkirakan jumlah kelahiran bayi secara absolut setiap tahun akan terus menurun, yaitu dari sekitar 4,5 juta jiwa pada tahun 1995, menjadi 3,4 juta pada tahun 2020.
Secara sepintas, hal itu memberikan isyarat bahwa berbagai kebutuhan bayi dan anak balita, ibu hamil, dan ibu setelah melahirkan, akan cenderung turun. Namun kalau dicermati, bahwa setiap keluarga hanya mempunyai seorang atau dua orang anak, maka kebutuhan itu bisa saja naik, asalkan disertai dengan presentasi kualitas yang memadai dan menempatkannya pada kebutuhan yang berbeda sesuai kemajuan tingkatan status keluarga. Gambaran itu tentu akan merangsang penyaji atau penjual pakaian, yang tidak mengejar jumlah dalam pemasaran biasa, tetapi lebih mencari peluang untuk pemasaran dalam bentuk penyajian lain.
Di samping itu, jumlah penduduk usia 0-14 tahun juga diperkirakan akan terus menurun. Dari sekitar 68,7 juta jiwa pada tahun 1995 menjadi 59,1 juta pada tahun 2020. Karenanya, usaha-usaha dalam pembuatan sarana dan prasarana sekolah, permainan dan fasilitas olahraga, akan menjadi cukup jenuh pada sekitar pertengahan sampai akhir PJP II. Kecuali jika pengembangan terus diarahkan pada peningkatan variasi dan mutu yang berorientasi ke depan. Sedangkan penduduk usia 15 tahun ke atas, diperkirakan akan terus meningkat dari 131,5 juta jiwa pada tahun 1995 menjadi 198,1 juta pada tahun 2020. Implikasi dari itu, jumlah angkatan kerja baru masih akan naik. Ini juga memberikan arti, kesempatan kerja yang harus lebih dibuka perlu lebih dikembangkan.
Kecenderungan penduduk usia lanjut, juga akan terus meningkat dalam kurun waktu liberalisasi perdagangan ini. Yaitu, dari 8,93 juta jiwa pada tahun 1995 menjadi 18,24 juta pada tahun 2020, dan tentunya juga akan membuka peluang usaha yang cukup luas. Misalkan dengan asumsi bahwa kebutuhan akan berbagai jenis pekerjaan khusus, pelayanan kesehatan dan perawatan khusus, surat kabar, majalah, pelayanan ibadah, kebutuhan kacamata dan lainnya, akan semakin meningkat.
Bahkan seorang peserta seminar berkelakar, salah satu peluang usaha yang bisa ditangkap di era itu adalah menjadi pengusaha yang menyediakan banyak selimut buat kakek-nenek, sebagai akibat makin banyaknya jumlah penduduk berusia lanjut. Tetapi persoalan tidak sesederhana itu, karena membuat selimut yang berdaya saing global, bukan pekerjaan ringan yang asal jadi.
Dengan makin bertambahnya rata-rata usia harapan hidup orang Indonesia, memberikan harapan baru bahwa Indonesia bisa memberi kesempatan kepada penduduk untuk menyumbangkan tenaganya dalam waktu yang lebih lama. Karenanya, investasi pendidikan dan latihan menjadi relatif lebih murah, karena sumber daya manusia dapat dipergunakan dalam waktu yang relatif lebih lama.
Dari segi nonfisik, kualitas penduduk Indonesia juga mengalami kemajuan yang berarti, ditandai dengan makin berkurangnya jumlah penduduk miskin. Hal ini akan memperkuat daya beli masyarakat, mempertinggi minat dan aspirasi, serta gaya hidup untuk menggunakan sarana dan prasarana produksi serta jasa yang lebih berkualitas.

Peluang usaha yang bakal terbuka di era tahun 2020, hanya bisa ditangkap oleh sumber daya manusia yang berkualitas. Karena itu, pengembangan sumber daya manusia Indonesia harus terus dikembangkan. Potensi pasar dalam negeri cukup luas untuk digarap. Tetapi persoalannya, tidak banyak waktu yang tersedia bagi Indonesia untuk mengejar ketertinggalannya dari negara-negara lain di sekitar. Tahun 2020 misalnya, pasar bebas di kawasan Asia Pasifik sudah terbuka. Perdagangan bebas di kawasan ASEAN saja dalam kerangka Perjanjian Perdagangan Bebas ASEAN (AFTA), sudah harus berlangsung tahun 2003.
Karenanya, Indonesia tidak bisa lagi mengandalkan pada keunggulan komparatif tenaga kerja dengan tingkat upah yang relatif murah dibandingkan negara berkembang Asia lainnya. Namun ironisnya lagi, tatkala negara lain sudah makin serius dengan teknologi canggih, Indonesia masih dihadapkan pada kenyataan masih adanya anak remaja yang putus sekolah karena ketiadaan biaya.

2.2       Pandangan Lembaga Survai Internasional Tentang Perekonomian Indonesia 2050
Pada akhir 2005, Goldman Sach kembali melahirkan makalah dengan memperkenalkan istilah baru, yaitu negara-negara yang tergabung dalam N-11 (Next Eleven), yaitu kumpulan negara dengan jumlah penduduk besar di dunia dan berpotensi besar di belakang BRICs (Brasil, Rusia India dan Cina). Kelompok N-11 ini ialah Banglades, Mesir, Indonesia, Iran, Korea, Meksiko, Nigeria, Pakistan, Filipina, Turki, dan Vietnam. Kelompok itu memang mendapat perhatian dari berbagai khalayak. Bahkan Pricewaterhousecoopers, sebuah kantor akuntan terbesar di dunia, melalui Chief Economist-nya di London, membuat prediksi berjudul The World in 2050 pada Maret 2006. Makalah itu secara khusus menyoroti kelompok khusus yang disebut E-7, The Emerging Seven, yaitu negara berkembang kelompok tujuh, terdiri dari China, India, Brasil, Rusia, yang termasuk BRICs, ditambah Indonesia, Meksiko, dan Turki yang kebetulan termasuk kelompok N-11. Kelompok E-7 ini diprediksikan akan melampaui kekuatan ekonomi negara-negara adidaya yang tergabung dalam G-7 pada tahun 2050. Namun, yang menarik adalah adanya hampir kesamaan kedua makalah itu mengenai Indonesia.
Dalam tulisan terbaru “N-11: More Than an Acronym“, (Global Economics Paper No 153, Maret 28, 2007), Goldman Sach membuat suatu prediksi perekonomian global pada tahun 2050. Dalam makalah itu Indonesia diprediksi akan menjadi kekuatan nomor tujuh di dunia setelah China, AS, India, Brasil, Meksiko, dan Rusia. Prediksi mirip makalah The World in 2050 yang disiapkan Pricewaterhousecoopers, yang menempatkan Indonesia pada kekuatan nomor enam setelah AS, China, India, Jepang, dan Brasil. Dari kedua tulisan itu menarik disimak bahwa urutan enam besar perekonomian dunia bisa berbeda, tetapi urutan Indonesia keenam atau ketujuh relatif tidak banyak berbeda.
            Pada tahun 2025, Goldman Sach memprediksi perekonomian Indonesia akan sebesar di antara Kanada dan Turki. Dalam hal ini, PDB Indonesia akan menempati urutan ke-14, Kanada berada di atasnya urutan ke-13. Dua puluh lima tahun kemudian, Indonesia diprediksi menjadi kekuatan ketujuh perekonomian dunia, melampaui Jepang, Inggris, Jerman, Nigeria, Perancis, Korea, dan Turki. Apakah prediksi itu memiliki alasan kuat?
Goldman Sach menggunakan tahun 2006 sebagai tahun dasar. Seberapa akurat data yang digunakan dibandingkan dengan data resmi yang dipublikasikan? Sebagai catatan, Goldman Sach juga menggunakan data ofisial, meski untuk tahun 2006 masih menggunakan angka prediksi. Ternyata data tahun 2006 yang kita miliki menunjukkan perkembangan yang lebih cepat dibandingkan dengan data Goldman Sach. Total PDB, misalnya, mencapai angka sekitar 366 miliar dollar AS dibandingkan dengan prediksi Goldman Sach sebesar 350 miliar dollar AS. Dengan angka lebih tinggi itu, pendapatan per kapita penduduk Indonesia mencapai 1.663 dollar AS tahun 2006, sedangkan menurut data Goldman Sach sebesar 1.508 dollar AS. Selain angka PDB, perbedaan angka pendapatan per kapita juga disebabkan jumlah penduduk yang menurut Goldman Sach sebesar 232 juta penduduk, lebih besar daripada angka sebenarnya.
Dengan perbedaan angka dasar itu, bisa dimengerti jika prediksi PDB Indonesia pada tahun 2010 akan mencapai 419 miliar dollar AS, sementara prediksi yang saya buat cukup konservatif pun menghasilkan angka sekitar 550 miliar dollar AS. Dengan prediksi semacam itu, bisa dimengerti mengapa prediksi Goldman Sach tentang Indonesia menjadi sedikit lebih rendah dibandingkan dengan prediksi yang dilakukan Pricewaterhousecooper.
Bagi yang skeptis, prediksi ini bisa dianggap membuang-buang waktu. Meskipun demikian, mengingat nama besar kedua institusi itu, rasanya kita perlu melihat secara lebih jernih apa yang mereka lakukan dengan apa yang sudah terjadi beberapa tahun terakhir ini.
Tampaknya, apa yang dimunculkan kedua institusi itu kian menemukan bentuknya dalam “The World in 2007″ (Economist edisi Desember 2006). Dalam edisi itu disebutkan ada 66 negara yang memiliki perekonomian terbesar di dunia, dengan data cukup rinci. Dalam daftar itu, Indonesia ada pada urutan ke-21 dengan menggunakan nilai tukar pasar (market exchange rate, bukan dengan PPP rate). Dibandingkan dengan data 2004, Indonesia masih di urutan ke-25-26 bersama Arab Saudi. Dalam artikel itu disebutkan, PDB Arab Saudi tetap di urutan ke-26 meski terjadi kenaikan amat tinggi harga minyak bumi. Indonesia dalam tiga tahun telah dan akan melampaui Austria, Norwegia, Turki, dan Polandia. Tahun ini diprediksi PDB Indonesia akan mencapai sekitar 410 miliar dollar AS. Ini bisa membawa Indonesia pada urutan ke-20, melampaui Taiwan. Pada tahun 2010, seperti dikemukakan sebelumnya, Indonesia akan melampaui Swiss, Swedia, dan Belgia, dengan total PDB sekitar 550 miliar dollar AS. Jika ini terjadi, posisi ke-14 sebagaimana prediksi Goldman Sach tahun 2025, bukan tidak mungkin akan terlampaui bahkan sebelum akhir tahun 2020.Semoga mimpi ini akan membawa kemakmuran lebih besar bagi penduduk Indonesia tanpa terkecuali.

2.3       Mengatasi Masalah Kependudukan
Praktis, masalah kependudukan dan problematiknya, memerlukan penanganan yang cermat dan lebih terkoordinasi. Buruknya manajemen penyelenggaraan transmigrasi sungguh memprihatinkan karena terjadi saat bangsa Indonesia sedang menghadapi persoalan kependudukan sebagai salah satu masalah nasional. Sebagaimana diketahui, ciri persoalan kependudukan Indonesia adalah kosentrasi lokasi penduduk di daerah-daerah padat, penyebarannya tidak proporsional, rata-rata pertumbuhannya relatif tinggi, dan kurangnya pemahaman bahwa persoalan kependudukan adalah masalah nasional yang multidimensi dan berdampak luas.
Penduduk Indonesia tahun 2000 sebanyak 205,8 juta. Tahun 2025, angka itu diproyeksikan menjadi 273,7 juta. Jadi, selama 25 tahun, terjadi penambahan jumlah penduduk rata-rata 2,72% tiap tahun. Namun, secara substansial, persoalan kependudukan bukan hanya terkait aspek kuantitatif, tetapi juga aspek kualitatif.
Transmigrasi adalah salah satu upaya untuk mengatasi masalah kependudukan tersebut. Upaya lain yang selama ini pernah gencar dilaksanakan adalah menggalakkan keluarga berencana dan mengintensifkan pendidikan kependudukan.
Harus kita akui arah kebijakan dan program pemerintah dalam mengatasi masalah nasional yang satu ini, dalam kurun waktu enam tahun terakhir terkesan tidak jelas dan tidak tegas. Namun, pada acara peluncuran buku Proyeksi Penduduk Indonesia 2000 – 2005, Selasa pekan lalu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sempat mengisyaratkan bahwa untuk menghadapi tantangan di bidang kependudukan di Indonesia diperlukan satu rencana besar dalam jangka menengah maupun panjang, termasuk menggalakkan kembali program keluarga berencana. Belum dijelaskan lebih lanjut, bagaimana penjabaran rencana tersebut, termasuk bagaimana strategi yang akan diterapkannya.
Di satu pihak tidak bisa dimungkiri bahwa persoalan kependudukan harus diatasi bersama seluruh komponen bangsa, mulai dari pemerintah pusat, pemerintah daerah, sampai lembaga-lembaga lainnya. Di pihak lain, dengan memperhatikan kondisi bangsa yang penuh keterbatasan sekarang ini, kiranya perlu dipertimbangkan penetapan skala prioritas penanganannya secara tepat. Harus dicari sumber permasalahan pokoknya, dan prioritas penanganannya harus dimulai dengan menyentuh persoalan pokok tersebut.
Berdasarkan data, jumlah terbesar penduduk Indonesia berdomisili di Pulau Jawa. Angka tingkat kepadatan penduduk tertinggi juga ada di pulau ini. Begitu pula angka migrasi pencari kerja, baik di lingkungan dalam negeri maupun migrasi pencari kerja ke luar negeri, diasumsikan tertinggi berasal dari Pulau Jawa. Boleh dikatakan, persoalan pokok masalah nasional kependudukan Indonesia ada di pulau ini. Data dan asumsi tersebut kiranya pantas dijadikan bahan kajian kemungkinan menetapkan penanggulangan masalah kependudukan di Pulau Jawa sebagai langkah prioritas. Logikanya, jika kita berhasil mengatasi persoalan kependudukan di pulau ini sebagai langkah awal, akan berdampak luas dan merupakan langkah yang efektif mengatasi persoalan kependudukan di Tanah Air.
Tiga jenis program perlu digalakkan secara serempak di pulau ini, dengan target pemecahan masalah secara kuantitatif maupun secara kualitatif. Program transmigrasi dengan sasaran daerah-daerah yang tingkat kepadatan penduduknya rendah, keluarga berencana dengan sasaran pasangan usia subur, dan pendidikan kependudukan dengan sasaran generasi muda.
Yang perlu dikondisikan terlebih dulu adalah tertanamnya pengertian bahwa masalah kependudukan adalah masalah nasional. Hal ini bisa ditanamkan lewat jalur pendidikan kependudukan, jalur formal maupun jalur nonformal. Dengan pola pikir dan perilaku yang satu bahasa, maka program transmigrasi, misalnya, bukan hanya diterima sebagai upaya untuk mensejahterakan rakyat yang ditransmigrasikan, tetapi juga disadari sebagai upaya meningkatkan kesejahteraan rakyat di daerah tujuannya, dan lebih dari itu dalam rangka mewujudkan kesejahteraan kehidupan rakyat Indonesia. Program keluarga berencana bukan semata-mata ditempatkan sebagai upaya untuk mengendalikan kelahiran bayi yang terkait kondisi dan kepentingan pribadi atau keluarga, tetapi juga demi kepentingan yang lebih luas dan berdimensi masa depan, yakni kepentingan nasional.Tanpa menempatkan kepentingan nasional di atas kepentingan lain yang lebih sempit, mustahil masalah kependudukan bisa diatasi.


BAB III
PENUTUP


3.1       Kesimpulan
Berdasarkan uraian pembahasan di awal, maka dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa:
1.      Tiga variabel keterkaitan hubungan antara kependudukan, globalisasi dan pasar bebas yaitu kondisi penduduk dan kemampuan penduduk sangat erat terkait dengan tumbuh dan berkembangnya usaha ekonomi, potensi penduduk erat kaitannya dengan ketangguhan bangsa dalam mengarungi era globalisasi dan perdagangan bebas globalisasi dan perdagangan bebas mengandung implikasi peluang usaha yang sangat luas.
2.      Pada tahun 2025, Goldman Sach memprediksi perekonomian Indonesia akan sebesar di antara Kanada dan Turki.
3.      Tiga jenis program perlu digalakkan secara serempak dengan target pemecahan masalah secara kuantitatif maupun secara kualitatif, yaitu program transmigrasi dengan sasaran daerah-daerah yang tingkat kepadatan penduduknya rendah, keluarga berencana dengan sasaran pasangan usia subur, dan pendidikan kependudukan dengan sasaran generasi muda.

3.2       Saran
Semoga makalah ini dapat bermanfaat dan menambah hasanah pengetahuan kita, utamanya yang berhubungan dengan pengetahuan lingkungan.


DAFTAR PUSTAKA


http://wahyurihant.wordpress.com/2012/05/01/makalah-pengetahuan-lingkungan-penduduk/

0 komentar:

Posting Komentar

 
 
Copyright © Tejooo
Blogger Theme by BloggerThemes Design by Diovo.com